Tiga Bocah Papua yang Berhasil
Ciptakan Sistem Robot Pendeteksi Bencana Tsunami
Radar Lampung - Kamis, 6 Oktober 2011 POSTED BY: Ayep Kancee
Laporan M. Hilmi Setiawan, JAKARTA
Perhelatan Indonesian Information and
Communication Technology Award (INAICTA) 2011 dipusatkan di Jakarta Convention
Center (JCC) yang berlangsung pekan ini cukup meriah. Ratusan anak berbakat
saling unjuk gigi memamerkan temuan-temuan mereka yang berkaitan dengan ICT
(information and communication technology).
INAICTA 2011 kali ini menghadirkan beragam
kategori lomba. Di antaranya, untuk kelompok profesional dilombakan kategori
seperti e-business manufacturing logistics and supply chain, industrial
application, serta e-learning dan e-education.
Untuk tingkat pelajar
dilombakan kategori temuan aplikasi dan robot, mulai tingkat SD hingga
perguruan tinggi. Di antara sekian kategori perlombaan, yang terlihat cukup
menyedot perhatian pengunjung adalah lomba applicative robot exhibition dengan
tema Robot for Helping People from Natural Disaster. Merujuk temanya, dalam
ajang itu diperagakan temuan-temuan robotik pelajar untuk membantu manusia
menghadapi bencana.
Khusus kelompok
tersebut diikuti belasan peserta, mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Aneka temuan dijejer rapi. Ada satu stan pameran yang mengundang animo
pengunjung. Stan itu memampang robot deteksi dini (early warning) gelombang
tsunami. Robot tersebut adalah karya tiga bocah asal Papua tadi: Albertina
Boanal, Yohana Helena Oprawiri, dan Demira Yikwa.
Ketiganya saat ini
tercatat sebagai murid yang mengikuti program beasiswa pendidikan di Surya
Institute yang didirikan Prof. Yohanes Surya. Mereka hijrah dari bumi Papua
menuju Jakarta sekitar dua tahun lalu.
Saat ini Yohana duduk
di bangku kelas VI SD, sedangkan Tina (panggilan Albertina) kelas IV dan Demira
kelas V. ’’Biaya sekolah kami ditanggung hingga perguruan tinggi,” kata Yohana,
siswi kelahiran Timika, Papua, 4 Februari 1998, itu. Dia menjelaskan, beasiswa
tersebut adalah hasil dari prestasi mereka selama belajar di Papua.
Perjalanan tiga bocah itu hingga akhirnya
berhasil menemukan robot pendeteksi dini tsunami dimulai sekitar dua bulan
lalu. Tepatnya ketika mendengar ada kontes ICT tingkat nasional. Saat itu
mereka sempat cemas karena tema yang ditentukan cukup sulit. Yaitu membuat
robot yang berfungsi membantu manusia untuk menghindari bencana alam.
Setelah berembuk dengan
beberapa guru pengasuh dan membolak-balik kliping koran di sekolah mereka,
akhirnya diputuskan untuk membuat alat deteksi dini bencana tsunami. Itu adalah
bencana yang sangat menakutkan di negeri ini. Demira menyebutkan, contoh
tsunami yang cukup parah di negeri ini terjadi di Aceh pada 2004 yang memakan korban
lebih dari 166 ribu jiwa. Selain itu, disusul kasus bencana tsunami yang juga
memakan korban tak sedikit.
Demira yang lahir di
Kabupaten Tolikara, Papua, 8 Maret 2000, itu menuturkan, setelah menemukan
fokus bencana yang akan mereka tangani, pekerjaan selanjutnya ialah menciptakan
robot yang mampu mendeteksi dini ancaman gelombang atau bencana tsunami.
Sebagai anak yang
tinggal di pedalaman Tolikara, Demira menuturkan, alam sebetulnya sudah menjadi
alat early warning untuk beragam bencana. "Di tempat kami, hewan-hewan
pasti ribut setiap akan ada bencana," tandasnya. Mulai burung, monyet,
kanguru, hingga binatang buas selalu terlihat gusar dan berlarian ketika akan
ada bencana alam.
Kondisi alam semacam
ini juga tampak ketika bakal terjadi bencana letusan gunung berapi. Aneka
binatang turun gunung beberapa saat sebelum bencana datang. "Hewan itu
seperti memiliki insting yang kuat dalam membaca gejala alam. Manusia kalah
untuk urusan ini," tandasnya.
Gejala alam yang tampak
sebelum terjadi bencana itu ditangkap Tina, Yohana, dan Demira. Mereka bertiga
lantas membuat robot pendeteksi dini dengan menerapkan gejala alam tersebut.
Dalam hal itu, mereka menggunakan bantuan seekor burung. "Awalnya kami
ingin menggunakan kera. Tapi, sulit cari kandangnya," celetuk Tina yang
lahir di Timika pada 28 Januari 1998 itu.
Sebagai percobaan, mereka menggunakan burung
berkicau jenis kutilang (pycnonotus aurigaster) yang dimasukkan di dalam
sangkar ukuran sedang. Nah, konsep sederhana dari robot karya tiga anak ini
adalah bencana tsunami mengancam, burung panik, kemudian ribut. Burung yang
panik itu lantas memencet sakelar berkali-kali. Sakelar itu sendiri dipasang di
empat sisi sangkar. Setiap sakelar itu terpencet, akan mengeluarkan sinyal yang
ditampung dalam sebuah motor.
Demira menjelaskan,
motor tidak akan bergerak jika sakelar hanya tertekan kurang dari sepuluh.
"Motor baru bisa berputar setelah sakeral terpencet belasan kali,"
tandasnya.
Nah, poros motor yang
berputar itu kemudian dipasangi keping VCD. Kemudian, keping VCD dihubungkan
dengan seutas tali ke sebuah lonceng kecil. Setiap motor berputar, tuas lonceng
tertarik, dan mengeluarkan bunyi teng, teng, teng, teng!.
Demira menjelaskan,
sejatinya motor bisa disetel berputar meskipun sakelar hanya tersentuh sekali.
Tapi, jika disetel model seperti itu, akurasi kepanikan burung kurang
tepat. ’’Jika sedikit, kepanikan burung bisa saja bukan karena tsunami,’’
tandasnya. Namun, ketika intensitas terpencetnya sakelar di-setting belasan
kali, bisa diduga kuat burung panik karena ada bencana tsunami. "Supaya
lebih efektif, robot ini harus dipasang di pantai," tandasnya.
Yohana, anggota tim
lainnya, menuturkan bahwa untuk menggerakkan sistem robot itu dibutuhkan
baterai DC 9 volt. Anak keempat di antara delapan bersaudara itu menjelaskan,
pengguna alat tersebut tidak perlu mengkhawatirkan baterai habis pada masa
tertentu. Sebab, baterai yang digunakan sejenis baterai HP yang bisa diisi
ulang lagi.
Untuk mengisi ulang baterai
tersebut, tiga anak itu juga menggunakan tenaga dari alam. Tepatnya, mereka
menggunakan tenaga panas matahari untuk mengisi daya baterai. "Kebetulan,
jika dipasang di pantai, supply cahanya melimpah," tandasnya.
Menurut Yohana, ongkos untuk membuat alat itu
tidak terlalu besar. Hanya sekitar Rp1 juta. Itu sudah termasuk untuk membeli
burung. Dia mengatakan tidak perlu menggunakan burung berkicau yang mahal.
Dengan biaya yang terjangkau itu, dia berharap bisa diaplikasikan pemerintah
dan dipasang di sepanjang garis pantai Indonesia. Tujuannya, jika akan terjadi
tsunami, masyarakat bisa cepat tahu dan segera menyelamatkan diri.
Selama ini, hasil alat peringatan dini buatan
pemerintah sering ditayangkan di TV saja. Padahal, kata dia, di pantai-pantai
pedalaman Papua banyak masyarakat yang belum memiliki TV. Kalaupun punya,
saluran dari Jakarta tidak bisa masuk ke kampung pinggiran pantai. ’’Target
kami lainnya adalah juara dalam kontes robot aplikasi ini,” kata Yohana
bersemangat. (c1/ary)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar